Perilaku “Suap” dan Jabatan
Opini Publik

Foto : Ilustrasi
Bagi sebagian besar pejabat di negeri ini, Jabatan dan kedudukan bukan lagi sebagai amanat dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas Negara untuk melayani rakyat. Melainkan sebuah kesempatan untuk menikmati fasilitas negara berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya yang bersumber dari uang rakyat.
Selain itu, jabatan dan kedudukan juga cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan praktis dan transaksional termasuk untuk memperkaya diri dan kelompok tertentu serta melindungi kepentingan bisnis.
Perilaku ini telah melenceng jauh dari tujuan dan cita-cita luhur bernegara dan berbangsa sebagaimana amanat konstitusi. Arah dan kebijakan negara terkesan dibuat hanya berdasarkan kepentingan segelintir orang (elite) tanpa memperhatikan dan mencermati dasar-dasar bernegara dan berpemeritahan yang baik.
Lembaga-lembaga negara sebagai organ yang dibentuk di nilai telah melenceng jauh dari ketetapan-ketetapan konstitusional sehingga tidak mempu memberikan dampak terhadap kemajuan dan perkembangan sumber daya manusia yang diharapkan sebagai suatu bangsa.
Banyaknya peraturan-peraturan yang tidak dapat dilaksanakan menyebabkan tidak terwujudnya penyelenggaraan azas-azas pemerintahan yang baik. Secara tidak langsung kegagalan ini telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap hak-hak rakyat sebagai warga negara, termasuk terhadap integritas dan moral pejabat-pejabat tinggi negeri ini.
Sebagai konsekuensinya ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Secara keseluruhan akan menjadi persoalan baru.
Tansparansi yang diharapkan sebagai jalan alternatif yang memberikan kemudahan dibuat menjadi lorong yang gelap oleh pemerintah. Bahkan transparansi dijadikan seolah-olah menjadi barang haram.
Fungsi pelayanan sebagai tugas utama pemerintah berubah menjadi tempat pungutan liar (pungli) dan transaksi-transaksi uang haram. Tidak adanya kesadaran menyebabkan matinya tanggung jawab, fungsi pengawasan hanya menambah pos praktek suap dan ketidak pastian.
Perilaku “Suap” Para Pejabat
Perilaku“suap” atau pemberian hadiah atau janji-janji (gratifikasi) masih mendominasi jabatan dan kedudukan penguasa negeri ini. Jabatan dan kedudukan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan diri sendiri dan keompok dan kaumnya.
Hal itu dapat dibuktikan dari lonjakan harta kekayaan yang tidak wajar dikalangan oknum-oknum pejabat. Banyak kekayaan yang ditimbun bahkan tidak jarang yang dialihkan kepada pihak lain, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan. (Gaji yang diterima dari negara jauh melampaui kekayaan yang dimilikinya) alias karena uang sogok, suap, gratifikasi dan sejenisnya.
Praktek dan perilaku “suap” ini sudah mengakar dimana-mana bahkan telah menjadi persoalan hukum sejak zaman dulu sampai sekarang.
Kejahatan suap” ini sudah terbentuk sedemikian rupa melalui berbagai pendekatan yang sangat kuat dan mengakar pada budaya masyarakat termasuk ke lingkungan pejabat dan aparat penegak hukum (APH).
Jadi walaupun perbuatan “suap” merupakan perbuatan yang dilarang, dalam prakteknya“suap” seperti; pemerasan, pemberitaan berupa hadiah atau janji, atau iming -iming, dll, masih marak dimana-mana.
Pendekatan kultural antar oknum aparat dan masyarakat menjadi fenomena sehari-hari menyebabkan tidak berjalannya proses penegakan hukum. Dengan pendekatan yang sama pula hukum kehilangan objektivitasnya.
Pendekatan kultural menyebabkan subyektifitas hukum dimasyarakat, perilaku berkembang secara cepat menjadikan hukum sebagai alat transaksi oleh sekelompok oknum dan elit kekuasaan.
Praktek-praktek seperti ini telah dilakukan sejak dulu sampai sekarang ini, namun presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dengan segala kelengkapan yang dimilikinya tidak mampu menyelesaikan persoalan ini.
Terhadap permasalahan “suap” di Negara ini sejatinya tidak ada yang peduli, termasuk presiden. Praktek “suap” jalan cepat perkaya diri sekaligus cara cepat memperdaya rakyat miskin.
Redaksi….