Manipulatif Progam Biaya Pendidikan

JAKARTA, TransCyber.id, – Tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan semakin dipertanyakan, harapan untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi generasi penerus bangsa sekarang ini justru semakin sulit.
Biaya pendidikan yang digadang-gadang gratis, justru menjadi sebaliknya. Biaya untuk membeli seragam sekolah dasar saja tahun ini orang tua murid harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
“Bayangkan saja, kita wajib membeli 5 (lima) jenis seragam untuk sekolah dasar (SD), ditambah sepatu, buku dan tas, itu baru SD, kalau saja orang tua punya anak sekolah 3 (tiga) orang, katakanlah SD, SMP dan SMA berapa banyak uang yang harus dipersiapkan orang tua murid” kata Zajuli di Jakarta Timur mengutarakan bebannya (Rabu, 24/7/24).
Lebih lanjut Zajuli mengeluhkan beban pelajaran dari sekolah sekarang selalu harus dengan uang. “untuk tugas-tugas sekolah juga kita harus selalu uang, contohnya; suruh print lah, beli buku ini itu, ke internetlah, belum handphonenya, pokoknya semua serba uang, sekolah sekarang benar-benar parah”, katanya mengeluh.
Hal yang sama juga di keluhkan warga Cipinang bali, anaknya yang masih duduk di kelas 4 SD, untuk menyiapkan tugas-tugas yang diberikan sekolah, dia rela membawa anaknya keluar pukul 12.00 wib hanya untuk nge-print tugas sekolah ke internet.
“tadi mau ke internet mau print tugas anak, tapi print nya sudah tutup, besok pagi-pagi kita harus kesana (tukang fotokopi) untuk print tugas anak lagi” kata yang mengaku tinggal di Cipinang Bali itu sambil mendorong motornya yang lagi kehabisan bensin bersama 2 orang anaknya.
Sambil menunjuk anaknya (perempuan), “ini anak saya baru kelas 4 SD, terpaksa berhenti setahun karena tidak bisa masuk 3 tahun lalu, katanya karena umur belum cukup” katanya.
Saat ditanya terkait program Kantu Jakarta Pintar (KJP), dia mengaku belum pernah mendapatkan KJP. “Saya sampai saat ini belum pernah dapat KJP” jawabnya.
Dengan berbagai program pemerintah tentang pendidikan gratis yang terus dielu-elukan dalam faktanya hanya retorika belaka, karena embel-embel pendidikan gratis justru membuat anak didik dan orangtua menderita beban biaya yang semakin banyak.
Program pendidikan gratis yang digadang-gadang pemerintah dalam prakteknya justru menghasilkan praktek – praktek manipulatif terutama dalam program-program biaya pendidikan yang sangat menyusahkan orang tua murid.
Persoalahan mahalnya biaya pendidikan ini tidak hanya terjadi ditingkat SD, SMP atau SMA sederajat, tetapi mahalnya biaya pendidikan di tingkat perguruan tinggi juga menjadi bukti ketidak pedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan.
Baru-baru ini dari berbagai kampus di Indonesia mempersoalkan mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang harus dibayarkan mahasiswa di perguruan tinnggi.
Biaya UKT di beberapa perguruan tinggi ada sampai mencapai Rp 50 juta per semester, termasuk uang pengembangan institusi yang jumlahnya sampai ratusan juta rupiah.
Muncul pertanyaan, apakah benar negara mau menggratiskan biaya pendidikan, sementara faktanya orang tua murid selalu dibebani biaya ini dan itu?
Telah terjadi kemunduran tata kelola pendidikan yang luar biasa dibandingkan zaman dulu. Pendidikan zaman dulu murid atau siswa tidak perlu dibebani membeli buku, seragam, atau sepatu bagus untuk bisa sekolah. Sekarang semua siswa harus membeli segaram, buku untuk bisa ikut sekolah, ini sama saja membunuh mental anak.
Untuk mengatasi fenomena pendidikan sekarang ini, mampu tidak mampu, semua beban biaya ini harus ditanggung orangtua siswa, roblemnya benar kah apa yang tercantum didalam konstitusi yang menyatakan bahwa 20% anggaran pendidikqn harus diprioritaskan kepada pendidikan dasar sembilan tahun itu?
Sementara sekarang ini soal buku dan kebutuhan pendidikan lainnya setiap hari selalu ada atau sengaja dibuat dan menjadi beban biaya peserta didik dan orangtua. (Rm)