Komisi Yudisial RI Periksa Laporan Pangaduan Hakim PN Cilacap
Komisi Yudisial RI Periksa Laporan Pangaduan Hakim PN Cilacap

JAKARTA, Trans-Cyber.id, – Dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim di pengadilan Negeri Cilacap menjadi perhatian lembaga Komisi Yudisial Republik Indonesia.
Seperti diketahui berdasarkan bukti laporan No. 167/ PH/ LM.02/ 04/ 2022 tanggal 23 April 2022 Listiyoningsih telah membuat pengaduan ke Komisi Yudisial RI yang tercatat dalam penerimaan No. 0435/ IV/ 2022/ P pada tanggal 12 April 2022.
Adapun hakim yang dilaporkan adalah Hakim yang mengadili perkara registrasi laporan No. perdata no. 3/ Pdt. G/ 2016/ PN. Clp yang diketahui berinisial SS, RN, GPA, CAP dan AP (Panintra Pengganti).
Berdasarkan bukti laporan yang didapatkan Trans-Cyber.ida, para terlapor diduga telah melakukan praktek pelanggaran kode etik berdasarkan pedoman perilaku hakim dengan meminta uang sebesar Rp 30 juta kepada salah satu pihak di PN Cilacap pada tahun 2016 lalu.
Peristiwa itu terjadi satu Minggu sebelum pembacaan putusan perkara perdata no. 3/ Pdt. G/ 2016/ PN. Clp melalui seorang Panitera pengganti PN Cilacap.
“Ada ga duit 30 juta pak” kata sumber menceritakan permintaan panitra kepada media. “Paniteranya meminta 30 juta pak, katanya dengan uang tersebut gugatan terhadap tergugat bisa ditolak” ungkapnya.
“Tetapi pada waktu itu karena kita tidak punya uang, sidang pembacaan putusan sempat ditunda satu minggu dan minggu depannya sidang dilanjutkan kembali, tetapi karena tidak ada uang saat itu, putusan hakim malah memenangkan penggugat, kita (tergugat) dikalahkan” kata sumber menceritakan peristiwa tahun 2016 itu.

Bukan hanya itu saja, dalam bukti laporan, pelapor juga menyertakan ketua PN Cilacap (SS) juga diikut sertakan sebagai terlapor dan diketahui pelaporan terhadap SS diduga karena tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai Ketua PN.
Dalam proses aamaning di PN Cilacap, ketua PN dianggap berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara. “Surat sudah beres dimeja saya, tinggal pelaksanaan saja, kata SS pada saat acara aamaning di ruang mediasi Ketua PN Cilacap saat itu” kata pelapor menceritakan kronologi pelaporannya di Komis Yudisial, Rabu (25/1/2023).
Lebih lanjut dia mengatakan, sikap pernyataan SS itu merupakan bentuk keberpihakan kepada salah satu pihak yang berperkara, selaku KP tidak seyogianya menyampaikan hal tersebut dihadapan para pihak yang berperkara.
“Inikan sama saja merendahkan hukum yang secara tidak langsung menyudutkan atau melemahkan pihak yang sedang berperkara, semestinya hal-hal yang meyangkut materi suatu perkara tidak sepantasnya terucap dasi seorang KP di luar pengadilan” kata pelapor menjelaskan alasannya.
Pelapor juga menyoroti ketidak cermatan hakim dalam menangni perkara di pengadilan, “materi gugatan penggugat sudah jelas-jelas tidak sesuai dengan fakta, tetapi malah diduga diloloskan dari pemeriksaan hakim, seperti dalam salah satu petitum gugatan yang menyatakan letter C 2327 dengan batasan-batas diambil dari sertifikat orang lain.
Semestinya kalau hakim teliti dan cermat, gugatan itukan kabus atau tidak jelas, lalu kenapa bisa diterima begitu saja, disinikan sudah jelas hakimnya tidak teliti dan cermat, cerita pelapor.
Masih banyak lagi dugaan-dugaan pelanggan kode etik berdasarkan pedoman perilaku hakim dalam kasus ini. Misalnya dalam perkara No. 60/bth/PN. Clp/ 2021, ketika sidang PS (pemeriksaan setempat) melalu terlawan, permintaan uang 30 juta untuk hakim juga mencuat satu hari sebelum PS.
Seorang berisial S mengaku dimintain uang Rp 30 juta oleh terlawan (SP) kepadanya, “saya diminta mantan uang Rp 30 juta, katanya buat hakim, kali ga ada nanti bakal dikalahkan” kata sumber bercerita terkait uang 30juta untuk hakim dari terlawan.
“Saya tidak ada uang 30 juta, saya adanya 20 juta, saya berikan 20juta” ucap sumber menceritakan uang 30 juta di PS perkara perlawanan No. 60/G.bth/PN. Cilacap/ 2021.
Perkara ini terkait sengketa tanah yang bergulir di PN Cilacap sejak tahun 2016, dimana penggugat melayangkan gugatannya di PN Cilacap dengan menggunakan bukti surat fotocopy letter C desa melawan SHM yang dimana objek masing – masing tanahnya ada ada secara sendiri-sendiri.
Tetapi karena diduga kuat ada persengkongkolan dengan oknum hakim di pengadilan, tanah bersertifikat dirampas melalui putusan pengadilan dengan modus menggunakan surat fotocopy C desa.
Kini Komisi Yudisial RI sedang mendalami dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, selanjutnya hakim-hakim dan Panitera yang dilaporkan akan dilakukan proses pemeriksaan lebih lanjut oleh Komisi Yudisial.
Pelaporan ini diharapkan dapat menjadi peringatan bagi semua hakim-hakim yang menjalankan praktek-praktek peradilan di pengadilan seluruh Indonesia agar setiap hakim yang mengadili perkara tidak bermain-main dalam menjalankan hukum di pengadilan.
Hakim dapat menjalankan tugas-tugasnya sesuai kode etik dan pedoman perilaku hakim sehingga terhindar dari praktek kolusi korupsi dan nepotisme terhadap perkara.
Sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim, seluruh hakim di Indonesia seharusnya malu dan takut melakukan tindakan-tindakan kecurangan terhadap hukum baik diruang Pengadilan maupun diluar pengadilan.
Dinsinyalir hakim yang mengadili perkara perdata no. 3/ Pdt. G/ 2016/ PN. Clp diduga telah melakukan praktek pelanggaran kode etik berdasarkan pedoman perilaku hakim berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No. 047/ KMA / SKB/ IV/ 2009 Jo. No. 2/ SKB/ P. KY/ IV/ 2009 tentang kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim. (Abl)