Terkait Tunggakan Sewa Rusunawa BPK RI Diminta Audit Bank DKI & DPRKP Jakarta

Bank DKI dan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman Daerah Khusus Jakarta (Foto : Berbagai Sumber)
JAKARTA, trans-cyber.id, — Tunggakan pembayaran Sewa Rusunawa di Jakarta dinilai menjadi beban yang sangat berat bagi jutaan warga Jakarta yang berpenghasilan rendah. Seperti dikutip dari laman Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) pada 22 February 2025 dengan judul : Tunggakan Sewa Rusunawa di Jakarta Mencapai Rp95 Miliar: Pemprov DKI Siapkan Sanksi Tegas.
Pemberitaan BPK RI itu dinilai tendensius, karena diyakini pihak BPK RI belum mengetahui bagaimana buruknya sistem pengelolaan Rusunawa yang harus dihadapi warga Jakarta yang hidup di Rusunawa di Jakarta.
“Sebaiknya terlebih dahulu BPK RI mengetahui dulu bagaimana buruknya pengelolaan Rusunawa di Jakarta selama ini, jangan asal ngomong, apalagi katanya dengan sanksi tegas segala, tu sama saja menebar teror ke rakyat miskin Jakarta” kata salah satu warga Rusunawa Marunda Jakarta Utara, Rabu (9/7/2025) memberikan komentarnya.
Lebih lanjut ia mempertanyakan BPK RI apakah sudah mengetahui keadaan ekonomi warga Jakarta yang menyewa Rusunawa yang berpenghasilan tidak layak untuk hidup dijakarta dengan mayoritas tidak berpenghasilan tetap. Jangan mentang-mentang dapat gaji besardari keringat rakyat, bicara jadi ngancam-ngancam rakyat gitu, cek dulu yang benar baru bicara” ucapnya tegas.
“Emang siapa BPK RI, toh pada banyak tikep uang rakyat juga, harunya mengerti dan tahu dulu baru bicara” katanya ketus.
Kalau berani, terkait tunggakan sewa sebesar itu Bank DKI dan pengelola Rusunawa dalam hal ini Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (DPRKP) Jakarta di audit dulu, jangan-jangan uang tunggakan itu di Korupsi, lalu dibebankan ke kita-kita rakyat miskin ini”, ucapnya sambil meminta namanya tidak dimuat.
Sebagaimana diketahui, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (DPRKP) Jakarta diwajibkan membuka Rekening di bank DKI sebagai syarat bagi calon penghuni tanpa aturan dan dasar hukum yang jelas.
Pembayaran sewa bukan ke pengelola dalam hal ini UPTRS dibawah Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (DPRKP) Jakarta akan tetapi di potong langsung oleh pihak Bank DKI melalu rekening penyewa/penghuni. Konyolnya untuk mendapatkan bukti-bukti pemotongan sangat sulit didapat oleh penghuni – penyewa.
Disisi lain UPTRS selaku pengelola melayangkan surat-surat teguran terhadap penghuni/penyewa dengan menggunakan data gelondong yang diduga berbeda atau tidak sama dengan bukti pembayaran di Bank DKI, kasus seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Inikan menimbulkan persoalan, bagimana uang di rekening penghuni terpotong tetapi di pengelola muncul beban tagihan melalui surat, ini sama saja bentuk kejahatan, uang di kuras tapi tunggakan jalan terus, kata seorang warga rusun Jatinegara Jakarta Timur.
Karena tunggakan sewa ini menjadi momok bagi masyarakat penghuni/penyewa, masyarakat penghuni/penyewa mulai sadar dan bertanya-tanya. Apa dasar hukum yang mewajibkan penghuni/penyewa membuat rekening bank DKI sebagai syarat bagi setiap penghuni/penyewa sementara penghuni tidak pernah menerima bukti-bukti pembayaran secara resmi berdasarkan pemotongan bank DKI sebagai dasar membebankan sejumlah tunggakan kepada penghuni?
Ini permasalahan yang sangat sulit bagi penghuni/penyewa mentara disisi lain, seberapa banyak uang yang dipotong dari rekening penyewa/penghuni sulit didapat secara resmi. Patut diduga ini menjadi salah satu penyebab tidak terselesaikannya sewa tunggakan penghuni/ penyewa Rusunawa di Jakarta.
Intinya penghuni penyewa tidak mendapatkan hak-haknya secara taranparans sehingga untuk memperoleh sinkronisasi informasi/data antara bukti pembayaran sewa dari bak DKI dan dari pihak pengelola menjadi persoalan penghuni yang tidak pernah terselesaikan.
“untuk mendapatkan bukti pemotongan sewa dari bank DKI dan dari pihak pengelola tidak pernah didapatkan penghuni/penyewa secara resmi dan taransparan oleh sebab itu sebaiknya Pengelola UPTRS dan Bank DKI perlu di audit sehingga bisa terungkap data pembayaran masyarakat miskin yang menyewa Rusunawa di Jakarta” kata seorang penghuni di Rusun Pulo gebang yang meminta namanya tidak disebutkan (Rabu, 9/7/2025)
Lebih lanjut dia mengungkapkan, terkait permasalahan tunggakan Rusunawa ini sudah terjadi bertahun-tahun, tapi kok dibiarkan saja ya, (tidak dibenahi secara taransparan-red) ini sama saja meng-kambing hitam penghuni, seolah-olah penghuni tidak bayar” katanya dengan nada kesal.
“Kinerja Kepala Unit Pengelola Teknis Rumah Susun (UPTRS) benar-benar tidak berguna, mubasir, habis-habisin anggaran saja, buktinya untuk menwujudkan hunian yang baik dan nyaman saja tidak mampu, menurut saya jabatan-jabatan UPTRS itu dihapus saja, buang-buang anggaran mending uang-uang itu dijadikan modal rakyat miskin Jakarta, ketahuan” Katanya berpendapat.
Dari sumber-sumber informasi yang diterima media ini, intinya penghuni rumah susun sewa di Jakarta sudah haeus dibenahi sesegera mungkin, terutama meninjau ulang pemotongan sewa dan data pengelola demi tercapainya hak-hak penyewa secara mudah dan taransparan.
Pemotongan biaya sewa dan data laporan UPTRS perlu di audit, sehingga tunggakan sewa tidak menjadi fitnah bagi masyarakat penghuni.
Penyebab lain bengkaknya tunggakan sewa, juga terjadi dugaan dengan cara-cara korupsi oleh oknum-oknum pegawai, misalnya terkait daftar nama yang tidak terverifikasi sering menimbulkan utang bagi penghuni. Contoh kasus; Pada tahun sekian unit rusun terdaftar atas nama si A, lalu beberapa tahun kemudian Unit Si A ditempat oleh si B, lalu karena ada tunggakan si A, okeh oknum-oknum pengelola, tunggakan si A (atas nama pertama) dibebankan ke si B sebagai penghuni yang memperoleh SK resmi.
Kasus seperti ini banyak terjadi di rumah susun sewa pelaku-pelaku adalah oknum-oknum pengelola itu sendiri, tidak sedikit orang “miskin” jadi korban pemerintah oleh oknum pegawai juga, demikian juga pemerasan bisa terjadi pada saat proses pengajuan hunian yang syarat permainan dengan oknum pegawai dan orang tertentu yang sudah sama-sama pemain alias oknum calo.
Dimana berdasarkan dari beberapa rumor yang beredar dikalangan penghuni bisa deal-deal diangka puluhan juta rupiah.
Dugaan Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme seperti ini sudah menjadi rahasia umum di lingkungan warga Rusunawa di Jakarta, termasuk proses melamar kerja sebagai Pekerja harian lepas (PHL) di Jakarta menjadi cerita-cerita sehari-hari secara khusus di wilayah Rusunawa secara umum di Jakarta, termasuk jatah-jatah, dan pemotongan operasional RT pun tak luput dari sorotan praktek KKN.
Jumlah penyewa/penghuni rumah susun sewa di Jakarta yang terus meningkat jumlahnya bukti bahwa kehidupan ekonomi rakyat Jakarta masih jauh dari standar ekonomi layak. Oleh sebab itu gubernur Jakarta, Pramono Anung sudah seharusnya memberikan perhatian yang serius terhadap tata kelola Rusunawa di Jakarta.
Dalam hal persoalan tunggakan Rusunawa di Jakarta, Gubernur Jakarta Pramono Anung diminta mengaudit Bank DKI dan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (DPRKP) Jakarta untuk memastikan hunian Rusunawa Jakarta sebagai fasilitas hunian yang memberikan harapan hidup dan ekonomi bagi rakyat Jakarta yang berpenghasilan rendah.
Selain itu, langkah audit ini dapat dijadikan evaluasi dan upaya-upaya efisiensi terhadap anggaran terutama upaya-upaya mengurangi prakek-praktek korupsi. (Redaksi)

