Apa Itu Kerugian Negara
Istilah kerugian negara selalu muncul dalam suatu peristiwa tindak pidana korupsi. Apa sebenarnya kerugian negara itu?
Kerugian negara menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 1 ayat 22,
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Berdasarkan uraian diatas tersebut, kerugian negara dapat dikatakan apabila telah terpenuhinya unsur-unsur kerugian negara sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (22).
Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
“Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”
Kerugian perekonomian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kerugian perekonomian negara harus dipicu oleh suatu tindakan nyata yang mengakibatkan dampak signifikan terhadap negara dan masyarakat.
Kerugian perekonomian negara dapat berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi.
Kerugian perekonomian negara baru dapat dibuktikan setelah unsur “kerugian keuangan negara” telah dibuktikan.
Penulis : Sarah Sabrina Lubis (199612052018012002)
sense of crisis
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kerugian negara telah terjadi apabila telah terpenuhinya unsur-unsur kerugian negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, Kerugian Negara telah terjadi jika adanya pelaku/penanggung jawab kerugian yaitu bendahara, pegawai yang telah melakukan tindakan melawan hukum baik sengaja maupun karena lalai yang mengakibatkan terjadinya kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang jumlahnya nyata dan pasti serta tindakan melawan hukum yang dilakukannya tersebut memiliki hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.
Apabila hanya dilihat dari pengertian kerugian Negara menurut Undang-Undang Perbendaharaan, besaran kerugian yang terjadi hanya dapat dinyatakan berdasarkan besaran “yang nyata dan pasti” telah timbul.
Pengertian tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sebagai salah satu unsur perbuatan melawan hukum, merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kata ‘dapat’ pada pengertian tersebut tentunya mengandung makna bahwa kerugian tidak hanya sebatas yang nyata dan pasti namun juga yang berpotensi timbul di kemudian hari.
Lantas, bagaimana sebenarnya implementasi dari penetapan kerugian negara itu? Siapa yang berhak menentukan besaran kerugian negara tersebut? Penulis berpendapat bahwa penyelesaian kerugian negara dinilai dari ada tidaknya unsur pidana. Apabila kerugian Negara tersebut ditimbulkan tidak berdasarkan dari unsur perbuatan melawan hukum atau kelalaian yang memiliki unsur pidana, maka penyelesaiannya dilakukan dengan cara:
- Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
- Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud ditemukan unsur pidana, penyimpangan keuangan yang memiliki unsur pidana disampaikan kepada aparat penegak hukum pusat seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan. Apabila kerugian negara tersebut ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi maka kerugian dinilai tidak hanya berdasarkan yang “nyata dan pasti” namun juga seluruh potensi kerugian negara yang timbul.
Menurut UUD 1945, Pasal 23E ayat (1) “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Pada Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan juga menyatakan bahawa , ”Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945,” kemudian pernyataan ini dipertegas kembali pada Pasal 6 ayat (1) dinyatakan “Badan Pemeriksa Keuangan bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Akhirnya Pasal 10 ayat (1) menyatakan, ”Badan Pemeriksa Keuangan berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
Referensi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain

