Perbedaan Tafsir dan Pemahaman, “Justice Collaborator” Rampas Rasa Keadilan
Perbedaan Tafsir dan Pemahaman, “Justice Collaborator” Rampas Rasa Keadilan

Penulis: Edward Sihotang, SH
Advokat & Praktis Hukum
Jakarta, Trans-Cyber.idPerbedaan pemahaman dan tafsir hukum antar lembaga penegak hukum dipastikan akan berdampak buruk terhadap implementasi dan kepastian hukum dimasyarakat.
Itulah yang terjadi antara Kejaksaan Agung RI dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dimana kedudukan hukum sebagai “Justice Collaborator” yang diamanatkan undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah kehilangan kepastian hukumnya.
Hal itu jelas terlihat dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dimana pandangan, pemahaman dan prinsip hukum terhadap kedudukan Justice Collaborator antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kejaksaan Agung telah menyebabkan kegaduhan hukum dimasyarakat.
Sementara berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), LPSK sebagai institusi negara diberikan tugas dan kewajiban oleh hukum untuk menetapkan seseorang yang memenuhi syarat sebagai Justice Collaborator.
Undang-undang itu sendiri lahir bukan tanpa alasan yang jelas. Negara ini menilai dan beralasan kedudukan Justice Collaborator itu sendiri sangat penting dalam mengungkap kejahatan yang terorganisir dan serius yang dihadapi oleh negara.
LPSK sebagai lembaga yang diberi amanat oleh negara dalam menentukan kedudukan seseorang sebagai “Justice Collaborator”, tidaklah bekerja sendiri, tetapi juga melibatkan lembaga penegak hukum lain termasuk dari kejaksaan Agung, institusi Kepolisian dan kehakiman.
Dalam menentukan kedudukan seseorang sebagai “Justice Collaborator” LPSK selaku pelaksana undang-undang diwajibkan terlebih dahulu berkoordinasi dengan lembaga -lembaga penegak hukum lainya dalam hal ini kepolisian, Kejaksaan termasuk Mahkamah Agung.
Hal itu dilakukan agar semua instansi penegak hukum (Negara) yang menangani atau melaksanakan proses hukum terhadap perkara dimaksud mengetahui dan memahami kedudukan seorang justice Collaborator didalam perkara tersebut.
Dengan tujuan agar terjadi a guality before the law, kesamaan kedudukan hukum juga persamaan pemahaman hukum dari institusi negara itu sendiri, sehingga terwujudnya kepastian hukum yang berkeadilan dimasyarakat.
Bagaimana Kedudukan Justice Collaborator
Justice Collaborator dapat diartikan sebagai sebutan bagi seseorang dalam kedudukan hukumnya adalah pelaku kejahatan tetapi bukan sebagai pelaku utama atau tunggal yang mau bekerja sama membantu penegak hukum untuk memberikan keterangan secara jujur dan benar untuk mengungkap suatu peristiwa hukum yang terorganisir dan serius.
Selain membantu dan bekerjasama dengan penegak hukum, seseorang Justice Collaborator, negara wajib memberikan hak atau imbalan berupa sanksi pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi berdasarkan undang-undang
Hal itu sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, dimana “Justice Collaborator” salah satu pelaku dari tindak pidana yang mengakui kejahatannya. Tapi, bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan.
Untuk lebih memberikan kepastian hukum kedudukan sebagai “Justice Collaborator”, juga tegaskan dalam ketetapkan dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Pada prinsipnya negara wajib memberikan perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu peristiwa hukum yang dinilai serius dan terorganisir.
Syarat menjadi Justice Collaborator juga diatur dlam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, 9 (A) dan (B).
- Justice Collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana yang mengakui semua kejahatan yang dilakukannya. Tapi bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
- Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan. Sehingga, penyidik dan atau penuntut umum bisa mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan atau mengembalikan aset-aset, hasil dari suatu tindak pidana.
Hak-hak Hukum Seseorang yang disebut Justice Collaborator
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hak-hak justice collaborator secara tegas telah di atur dalam Pasal 5 ayat 1 sampai 16, diantaranya;
- Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.”
- Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
- Memberikan keterangan tanpa tekanan.
- Mendapat penerjemah
- Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
- Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus.
- Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan.
- Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan.
- Dirahasikan identitasnya.
- Mendapat identitas baru.
- Mendapat tempat kediaman sementara.
- Mendapat tempat kediaman baru.
- Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan.
- Mendapat nasihat hukum.
- Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
- Mendapat pendampingan dari aparat penegak hukum dan lembaga lain seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pada tahapan awal atau permulaan (sebelum perkara disidangkan), LPSK boleh memberikan perlindungan kepada seseorang sebagai justice collaborator, nanti akan disesuaikan dengan putusan hakim, apakah seseorang tersebut layak ditetapkan menjadi justice collaborator atau tidak, berdasarkan putusan final hakim di pengadilan.
Gugurnya kedudukan hukum sebagai Justice Collaborator
Gugurnya kedudukan seorang “Justice Collaborator” adalah berbohong dalam memberikan keterangan, maka hak-hak dan kedudukan “justice Collaborator” yang dimiliki secara hukum dicabut dan selanjutnya dapat dituntut dengan pasal memberi keterangan palsu.
Dapat disimpulkan bahwa sepanjang proses persidangan dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J perlu ada kesepahaman institusi Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung dan LPSK terkait status hukum Bharada E selaku Justice Collaborator sebagaimana disyaratkan undang-undang.
Apabila diantara institusi penegak hukum belum sepaham dan sepakat terkait kedudukan dan makna hukum tentang “Justice Collaborator” maka patut diduga kepastian hukum dan rasa keadilan tidak akan dapat terwujud.
Sepanjang proses hukum berjalan terkait pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, kepolisian dan LPSK jelas terlihat telah sepakat dan sepaham terkait kedudukan Bharada E selaku Justice Collaborator.
Namun dalam proses pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut umum, terjadi ketidak sepahaman hukum dalam hal kedudukan Bharada E sebagai “justice Collaborator” inilah yang menjadi kecurigaan publik yang menimbulkan ketidak pastian hukum dan mengusik rasa keadilan masyarakat.
Dalam proses persidangan selanjutnya LPSK selaku institusi pemerintah yang diberi kewenangan menjalankan undang-undang terkait “Justice Collaborator”, diminta harus kembali menyakinkan kepada Majelis Hakim terkait kedudukan Bharada E selaku “Justice Collaborator” sebagaimana telah disyaratkan hukum dan perundang-undangan.
Apalagi kedudukan seseorang sebagai “Justice Collaborator” sudah dijamin oleh negara berdasarkan undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Terjadinya perbedaan penafsiran dalam mengimplementasikan undang-undang antara Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kejaksaan Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini akan menjadi ancaman bagi kedudukan “justice Collaborator” yang mau mengungkap kajahatan yang lebih serius di negeri ini.
Untuk tidak terjadi lagi hal yang sama dalam pemahaman dan pelaksanaan undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), LPSK selaku institusi negara perlu melakukan koordinasi kepada majelis hakim terkait kedudukan hukum “Justice Collaborator” sehingga tidak memiliki perbedaan tafsir dan pemahaman hukumnya.
Apalagi melihat perbedaan tafsir tentang “Justice Collaborator” dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J oleh kejaksaan Agung selaku lembaga penegak hukum dan institusi negara telah memunculkan kecurigaan dan mendapat perhatian yang serius dari masyarakat.
Secara norma dan etika hukum, apabila sejak awal pertandingan Jaksa selaku pengacara negara tidak sepakat dengan kedudukan Bharada E selaku Justice Collaborator seharusnya sudah menyatakan ketidak setujuanya sesuai dengan ketentuan undang-undang LPSK.
Sebagai Pengacara negara tidak semestinya memberikan atau memunculkan makna hukum yang berbeda, masyarakat wajar mencurigai tuntutan yang dibacakan Kejaksaan Agung karena terkesan lari dari norma dan kedudukannya selaku pengacara negara.
Sebagai institusi negara terkesan memberikan jebakan bahkan mengaburkan makna kedudukan Justice Collaborator sebagaimana disyaratkan undang-undang.(Red)